Sepertipuisi dalam Bahasa Indonesia, puisi Bahasa Inggris juga punya ciri khas yaitu ia ditulis dengan kata-kata kiasan atau majas dan mempunyai rima (rhyme) atau akhir bunyi yang sama di akhir baris. Setiap puisi mempunyai pesan yang ingin disampaikan penulisnya. Di bawah ini adalah contoh puisi yang bercerita tentang hujan dan artinya. Ternyatadatanglah seorang sahabat yang memberi salam pada mejelis nabi muhammad saw lalu shalat. Hari akhir berarti hari kebangkitan atau hari akhirat, yaitu terjadinya kehidupan. Kado Hari Guru (Bagian 2) MADING SDIT ARJ Dunia ini, yang dikenal dengan hari kiamat. Puisi tentang hari akhir yang berakhir dengan surga. Menurunkan derajatnya dan tunduk pasrah, semua itu Sayameninggalkan Anda 25 puisi kehidupan yang berbicara tentang konsepsi kebahagiaan dan perjalanan waktu yang dimiliki oleh beberapa penyair terpenting dalam sastra dunia.. Anda mungkin juga tertarik dengan puisi tentang kebahagiaan ini. 1- Carpe Diem oleh Walt Whitman "Jangan biarkan ini berakhir tanpa tumbuh sedikit pun, Yangmerasa mendapat pertanda. Mengira hari kiamat akan segera tiba. Mereka menari di tengah kabut. Bernyanyi-nyanyi di beranda. Sambil menghadap langit penuh badai. "Homo Sapiens Mohon Ampunan" Tinta pada Kertas (Faisal Kamandobat, 2019) Kabar datangnya hari kiamat. Disambut dengan penuh suka cita. Orang-orang memborong makanan. Nah berikut adalah beberapa puisi tentang jasa ibu yang telah melahirkan, merawat dan membesarkan anak-anaknya hingga akhir hayatnya. Rasulullah saw. bersabda, "Surga itu di bawah telapak kaki-kaki para ibu, Kubuka hari dengan jiwa yang bersih, Dengan semangat yang berbuih-buih, Untuk cinta tanpa rasa pamrih. angka seratus juta sepuluh ribu satu rupiah. “Duh Gusti kulo sanes ahli suwargo Nanging kulo mboten kiat wonten neroko. Mugi Gusti kerso paring pangapuro dumateng sedoyo dosa-dosa kulo…” Saya yakin di antara kalian pembaca Jurnaba, ada yang ikut bernyanyi ketika membaca lirik di atas. Betul, lirik di atas adalah pujian yang disenandungkan setelah adzan. Di musala perkampungan rumah saya, pujian ini biasa digemakan setiap selesai adzan magrib, sebelum iqhomat. Setiap mendengar pujian di atas, maka saya akan sadar bahwa itu adalah hari kamis, tepatnya malam jum’at. Entah akan kalian maknai sebagai waktu-waktu yang horror di mana para hantu bergentayangan, atau sebagai waktu bagus untuk bershalawat, mengaji, mengirimkan YaSin, atau yang lainnya. Tapi begitu mendengar pujian di atas, saya akan tahu bahwa itu adalah hari Kamis. Ada semacam kebiasaan di perkampungan saya melantunkan syi’ir di atas, yang tentu tak saya ketahui bagaimana mulanya. Syi’ir di atas memusingkan jika dipahami dengan nalar semata. Sudah tahu bukan ahli surga, kok ndak kuat menanggung perihnya neraka. Lha, maumu gimana? Tapi, kita semua tahu pujian di atas ditujukan untuk Tuhan, Gusti Allah maha penyayang dengan segala ampunannya. Suatu hari, seorang teman mengunggah sebuah tulisan, lebih tepatnya puisi. Entah itu dalam bahasa inggris, atau dalam bahasa Indonesia, saya lupa tepatnya. Tapi puisi itu tak asing bagi saya. Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan wa laa aqwaa alaa naaril jahiimi Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka. Fa hablii taubatan waghfir zunuubii fa innaka ghaafirudzdzambil azhiimi Maka berilah aku taubat ampunan dan ampunilah dosaku, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dosa yang besar. Dzunuubii mitslu a’daadir rimaali fa hablii taubatan yaa dzaaljalaali Dosaku bagaikan bilangan pasir, maka berilah aku taubat wahai Tuhanku yang memiliki keagungan. Wa umrii naaqishun fii kulli yaumi wa dzambii zaa-idun kaifah timaali Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya. Ilaahii abdukal aashii ataaka muqirran bidzdzunuubi wa qad da’aaka. Wahai, Tuhanku ! Hamba Mu yang berbuat dosa telah datang kepada Mu dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada Mu. Fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun wa in tathrud faman narjuu siwaaka Maka jika engkau mengampuni, maka Engkaulah yang berhak mengampuni. Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau? Betul, puisi di atas sama dengan pujian yang dikumandangkan setiap hari kamis sebelum iqomat magrib di perkampungan rumah saya. Perbedaannya hanya terletak pada bahasa, dan pulalah itu kali pertama saya tahu lirik lengkapnya, dan pertama kalinya saya tahu bahwa itu adalah sebuah puisi. “Iku puisine Abu Nuwas, penyair Arab. Keren ya?” “Ho’oh. Rayu-rayuan.” “Yo jelas to. Wong doa ki sakjane ya ngono. Ngerayu disik. Abu Nuwas ki penyair genit. Kae senengane mabuk-mabuk’an. Puisine soal arak digawe aliran, jenenge Khamriyyat. Wes mabukan, homo sisan. Pas Abu Nuwas mati ki wong-wong wes mikir cah kae bakal melbu neroko. Ternyata bengine ulama podo mimpi ketemu Abu Nuwas ning surgo. Petentang-petenteng, cengengesan. Terus ulama podo takon kok Abu Nuwas iso melbu surgo ki piye ceritane? Terus Abu Nuwas jawab nek sak durunge mati, dia nulis puisi ning ngisore bantal. Yo kui mau puisine. Sak wise kae, puisine Abu Nuwas diwaca wong-wong sak bare salat. Penyair ki keren leh berdoa. Iso ngerayu Tuhan sampe luluh.” Cerita itu satu dari sekian yang saya pahami tentang doa. Bahwa doa tak melulu sama, itu-itu saja. Itu-itu terus, membosankan, dan lebih banyak orang tak tahu isi dari doa mereka. Satu waktu ketika masih SMP, saya baca majalah bekas yang dipakai ibu sebagai bungkus cabe dan sayur-sayuran lain. Saya baca satu artikel di sana yang memuat tentang tokoh islam bernama Rabi’ah al-Adawiyah, nama yang barangkali sebagian besar dari pembaca sudah tahu. Nama itu pernah diulas dalam rubrik islami ketika ramadhan di sini. Rabi’ah al-Adawiyah dikenal sebagai perempuan suci, perempuan mulia, kekasih Allah. Rabi’ah dalam bahasa Arab berarti empat karena ia adalah anak ke-4. Keluarganya tak kaya, tapi ia dibesarkan oleh keluarga yang menjunjung tinggi keimanan. Satu hari ia menunda makan dan bertanya pada ayahnya, dari mana uang untuk membeli makanan di atas meja? Apakah makanan itu berasal dari rezeki yang halal? Ayahnya tertegun mendengar pertanyaan itu. Maka, dijawablah bahwa rezeki yang mereka peroleh berasal dari cara yang halal. Setelah mendengar jawaban itu, Rabi’ah baru mau memakan makanannya. Di suatu ketika ia ditangkap, dan kemudian dijual untuk menjadi budak. Di waktu malam, majikannya terbangun dan melihat cahaya berpendar dari kamar Rabi’ah. Kala itulah Rabi’ah sedang berdoa pada Tuhan. Hal yang tak pernah saya lupakan dari kisah Rabi’ah adalah isi dari puisi yang ia gunakan sebagai doa, yang dikutip pada artikel yang saya baca kala itu. “Tuhan, jika aku berdoa padamu lantaran ingin dimasukkan surga, maka tendanglah aku dari surga. Jika aku berdoa lantaran takut masuk neraka, maka masukkan saja aku ke neraka, tapi doaku semata karena aku mencintaiMu.” Kurang lebih itu yang masih saya ingat. Dua puisi di atas bagi saya indah sekali. Rayu-rayuan yang jika ditulis saat ini mungkin akan terdengar klise, tapi di masanya, doa di atas adalah yang paling indah, yang menggetarkan hati banyak orang. Kalau kalian bangun di malam hari dan lantas merayu Tuhan dengan cara demikian, saya kira besar kemungkinan kalian akan terbawa oleh suasana haru dan bersimpuh menangis. Mengapa kita saat ini tak berdoa dengan cara yang sama? Bukan dengan kalimat yang sama, tapi cara dan rasa yang sama. Bahasa yang indah, yang kita tangkap dari dalam diri sendiri, yang mewakili keinginginan pribadi…dan tentu masing-masing orang tak akan sama. Bukankah Tuhan itu universal? Kita saja yang menyukai template. Ada hal lain yang berubah dari cara orang berdoa. Kita mengenal Abu Nuwas lewat puisinya yang kita jadikan syiir, Jalaludin Rumi, bahkan puisi Rabi’ah. Doa mereka laiknya puisi, disusun dengan indah, yang membuat pembaca tersentuh. Apa yang membuat orang tersentuh? Bukan semata karena keindahan, tapi karena mereka paham, dan mampu meresapi makna dari kalimat-kalimat itu. Tapi bisa jadi kata memang hanya satu dari sekian perantara sebagaimana doa juga bukan template yang harus semua sama. Di Indonesia, kita kenal Qiro’ah, pembacaan al-Qur’an dengan melagukannya. Almarhumah ibu saya dulu sering diminta Qiro’ah ketika ada saudara, kerabat, atau tetangga sedang mantenan. Sebagian kita, saya yakin, tak paham arti dari ayat yang dibacakan, bahkan beberapa mungkin justru tak tahu surat apa itu. Tapi bunyi-bunyian itu indah, dan hati beberapa dari kita bergetar saat mendengarnya. Dan saya kira, itu pun bentuk lain dari doa. Kadang-kadang, kita perlu tahu bahwa doa tak mesti berisi harapan. Sebagian berisi rindu yang jika kita mengucap nama-Nya saja, akan membuat hati kita bergetar. HARI KIAMAT Gelombang air yang menghancurkan Gunung-gunung yang dihamburkan Apa yang sedang terjadi? Ketika gema suara tak lagi terdengar Dan langkahan kaki tak lagi bermakna Kemana kita akan pergi? Aku disini menanti pagi Tetapi mentari tak bersinar lagi Kukira tanah ini hanya sekedar murka Tetapi nyatanya illahi ingin aku kembali Beberapa orang mati syahid Namun sampah dunia mati sia-sia Tak lagi mengenal orang-orang Inikah akhir dari alam semesta? Duniapun runtuh seketika Sangkakala dibunyikan Semua makhluk kembali pada yang diatas Masih sempatkah bertaubat Disaat bumi ini sudah tiada? BUMIKU Air jatuh dengan lembut Menghiasi bumi dengan kehangatan Kabut-kabut kalbu mulai menjauh Meninggalkan langit cerah berseri Alam damai pertanda elok Dengan tangan-tangan kecil itu Mulai merenggut alam ini Kejahatan yang terjadi Menjadikan bumi semakin sekarat Keadilan tidak lagi ditegakkan Kejujuran tidak lagi dibendung Tidak ada pertanggung jawaban Dari segenggam rasa Menjadi sejuta pilu Hari itu akan datang Dimana semua tidak dapat diubah Bumi yang elok menjadi hancur Air yang suci menjadi tergores Kehidupan terasa fana Semua akan dipadukan Menjadi satu Hari itu tidak menunggu siapapun Hari itu akan datang Setelah kejahatan pada puncaknya Setelah bumi menjadi rusak Dari tangan-tangan itu Apa yang kita sesali? Apa yang kita ratapi? Sudah tidak ada gunanya Disaat hari itu datang Semuanya menjadi sirna Puisi Ramadhan Akan Berakhir, Foto Pixabay/milaoktasafitriMalam Nuzulul Quran mari ramaikan Dengan memperbanyak segala amalan Terutama amalan membaca Al-Qur’an Dengan mengharap ridho Ar-RahmanSerigala berjalan diatas perapian Mencari mangsa untuk dimakan Siapa yang tidak rindu bulan Ramadhan Tertutuplah baginya keberkahanPuisi Ramadhan akan BerakhirBulan Ramadhan akan berakhir Lamanya tiga puluh hari Harapkan ridho dari Ilahi Mohonkan segala dosa diampuniMalam hari takbir bergema Mengaungkan Allah yang Kuasa Semua insan turut gembira Hari kemenangan pun telah tibaTakbir bergema di mana-mana Kita takbir di rumah saja Menghindari kerumunan para warga Hamba mohon selamatkan di hari akhirRamadhan ketiga puluh puasa terakhir Pertanda Ramadhan sudah berakhir Timbul di hati rasa khawatir Tahun depan bisakah hadirBerbuka puasa sangat sendu Puasa terakhir akan berlalu Hati melepas dengan pilu Tahun depan akankah bertemuHati sedih melepas Ramadhan Bulan penuh dengan kemuliaan Hati berharap di tahun depan Bertemu kembali dengan Ramadhan

puisi tentang hari akhir yang berakhir dengan surga