Pada16 September 2019, Komisi 10 mengadakan RDPU dengan Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI PTN) tentang Penyampaian RUU Pendidikan Kedokteran yang diajukan oleh IDI untuk menggantikan UU No.20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Terkait standarisasi pendidikan, ini ada masalah yang cukup serius. Sepertinya perlu dipikirkan tentang standarisasi pendidikan. Banyak perguruan tinggi swasta yang memiliki fakultas kedokteran, tapi lulusannya tidak mendapat kelulusan kompetensi. Ketika ujian kompetensi selalu gagal berkali-kali," papar Wenny. UNAIRNEWS - Revisi Undang-Undang No. 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran akan segera digodok oleh DPR RI.Dalam rangka berkontribusi dalam revisi RUU tersebut, Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Airlangga (UNAIR) bersama Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Wilayah Jawa Timur dan FKG Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar menggelar seminar nasional. FKGUNAIR bersama Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Wilayah Jawa Timur dan FKG Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar menggelar seminar nasional. Jakarta- Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Kedokteran (Dikdok) akan disahkan pada Sidang Paripurna hari ini. Akses yang terbuka bagi masyarakat berpenghasilan rendah diharapkan terbantu dengan kehadiran RUU Dikdok. Artinya, masyarakat tidak perlu khawatir mengikuti pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi yang kerap dianggap mahal. angka seratus juta sepuluh ribu satu rupiah. › Opini›Pendidikan Dokter Spesialis... Di era globalisasi, khususnya era Masyarakat Ekonomi ASEAN MEA sekarang, reformasi sistem pendidikan kedokteran, khususnya pendidikan dokter spesialis, sebaiknya segera dilakukan jika kita ingin sejajar negara lain. DIDIE SW Didie SWKekurangan jumlah dokter spesialis di Indonesia pada masa pandemi Covid-19 ataupun dalam masa normal akhir-akhir ini menarik perhatian banyak pihak. Keadaan ini semakin terasa setelah banyak dokter, termasuk dokter spesialis, gugur dalam menjalankan menunjukkan ada 303 dokter yang telah gugur karena terpapar Covid-19, termasuk dokter spesialis, beberapa di antaranya guru besar. Sehubungan dengan hal itu, evaluasi dan upaya perbaikan sistem pendidikan dan pembiayaan menjadi sangat penting untuk mengatasi kekurangan dokter spesialis di Tanah Air. Saat ini di Indonesia terdapat sekitar dokter spesialis dan sekitar dokter umum. Dengan penduduk 270 juta jiwa, jumlah dokter spesialis yang ada dirasakan masih sangat kurang karena kebutuhan jumlah dokter spesialis tiap-tiap pencabangan ilmu dokter spesialis anak SpA, misalnya, dibutuhkan sebanyak orang untuk melayani sekitar 90 juta anak yang berumur kurang dari 18 tahun, sedangkan saat ini baru ada sekitar dokter SpA menurut Ketua Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Aryono muncul wacana untuk mengimpor dokter dari luar negeri untuk dokter spesialis atau subspesialis yang memang dokter spesialis obstetri ginekologi SpOG, menurut Wachyu Hadisaputra, Ketua Kolegium Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia POGI saat ini diperlukan dokter SpOG untuk melayani 120 juta wanita usia subur usia 18-37 tahun, sedangkan yang ada baru sebanyak dokter spesialis penyakit paru dan respirasi SpP, saat ini baru ada orang, sedangkan kebutuhan secara nasional menurut Faisal Yunus, Ketua Kolegium Spesialis Paru dan Kedokteran Respirasi, sekitar dokter SpP. Demikian pula jumlah dokter spesialis lain, seperti spesialis penyakit dalam SpPD, spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah SpJP, spesialis bedah SpB, spesialis anestesiologi SpAn, dan beberapa spesialis lain, masih muncul wacana untuk mengimpor dokter dari luar negeri untuk dokter spesialis atau subspesialis yang memang langka. Namun, apakah dengan cara mengimpor dokter tersebut akan dapat mengatasi masalah kekurangan dan maladistribusi dokter spesialis di Tanah Air? Jawabannya belum ini disebabkan tidak meratanya penyebaran tenaga dokter spesialis dengan jumlah yang masih kurang diakibatkan oleh berbagai faktor, termasuk sistem pendidikan dokter spesialis yang berbiaya tinggi yang harus ditanggung sendiri oleh resident, serta penyediaan fasilitas/peralatan rumah sakit yang belum memadai di beberapa OKA PRASETYADI Para dokter resident, yang juga mahasiswa Universitas Sam Ratulangi Unsrat, mendengarkan sambutan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto di auditorium Fakultas Kedokteran Unsrat, Manado, Sulawesi Utara, Selasa 25/8/2020. Terawan mengumumkan pemberian insentif Rp 12,5 juta per bulan selama enam bulan bagi para dokter resident yang turut melayani pasien pendidikan dokter spesialisPendidikan spesialis berbasis universitas saat ini mengacu dan mengikuti regulasi yang ada, seperti Peraturan Menteri Riset dan Teknologi/Pendidikan Tinggi No 18 Tahun 2018 tentang Standar Nasional Pendidikan Kedokteran SNPK, Undang-Undang UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, dan UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan ada yang salah dengan regulasi tersebut, tetapi perlu evaluasi mendasar karena sangat membatasi jumlah penerimaan peserta program sehubungan dengan adanya ketentuan tentang rasio tenaga pengajar/dosen terhadap mahasiswa dan berbagai ketentuan lain. Selain itu, kapasitas untuk wahana pendidikan yang semuanya dilaksanakan di rumah sakit pendidikan juga jumlahnya pendidikan spesialis yang dikenal sebagai ”peserta pendidikan dokter spesialis” PPDS harus terdaftar sebagai ”mahasiswa” yang wajib membayar SPP Rp 15 juta-Rp 20 juta per semester, bahkan ada yang lebih. Nomenklatur umum untuk PPDS adalah ”resident”. Selama pendidikan 8-9 semester, mereka pasti akan menghabiskan dana ratusan juta rupiah, di samping biaya hidup dan keperluan jelas terjadi seleksi awal terhadap financial support calon peserta yang akan menjadi pertimbangan utama bagi dokter yang akan melanjutkan pendidikan spesialisasi dengan sistem sekarang calon resident yang sebenarnya mampu dari segi keilmuan dan kompetensi, tetapi harus rela mundur dulu karena keadaan finansial belum mendukung, atau karena melebihi kuota melihat hal-hal tersebut, ada benarnya kalau ada yang mengatakan terdapat ”anomali” dalam sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia jika dibandingkan dengan negara maju, seperti Australia, Amerika Serikat, dan Jerman, bahkan dengan negara-negara Asia lainnya, seperti India, Thailand, Malaysia, dan negara-negara tersebut resident tidak harus membayar biaya negara-negara tersebut resident tidak harus membayar biaya pendidikan. Sebaliknya, mereka dibayar alias mendapat gaji yang cukup karena kenyataannya memang para resident belajar sambil bekerja di rumah sakit. Para resident mempunyai surat tanda registrasi STR dan surat izin praktik SIP.Di sisi lain, tidak jarang hak dan kewajiban para resident, seperti kelebihan waktu kerja dan insentif, seakan dua opsi yang mungkin dapat pendidikan dokter spesialis sepenuhnya diserahkan kepada rumah sakit pendidikan dengan fasilitas dan kualifikasi pengajar yang harus memenuhi persyaratan. Mulai dari penerimaan resident hingga pengelolaan administratif seluruhnya diserahkan kepada rumah sakit hospital based.Dengan sistem ini dimungkinkan untuk dapat menerima resident lebih banyak. Namun, hal ini memerlukan dana yang banyak dan kolaborasi dengan dukungan kuat organisasi profesi/ pendidikan spesialis tetap berafiliasi dengan universitas, tetapi harus dilakukan penambahan banyak rumah sakit pendidikan sebagai rumah sakit jejaring sehingga memungkinkan penerimaan resident jauh lebih anggaran dari rumah sakit dan kementerian terkait mutlak harus diatur untuk memberikan insentif/honor kepada resident dan membebaskan biaya Muhammad Asroruddin, dokter spesialis mata di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura Untan, Pontianak baju batik, membimbing koasistensi sarjana kedokteran FK Untan, Senin 2/5/2016, di Pontianak. Koasistensi merupakan program pendidikan profesi yang harus ditempuh calon dokter setelah menyelesaikan program ini pernah dikemukakan David Perdanakusuma, Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia Ikatan Dokter Indonesia MKKI IDI, kepada penulis, dan disebutnya sebagai hybrid system. Opsi ini sangat mungkin dilaksanakan, sekaligus mereformasi sistem pendidikan dokter spesialis saat ini. Tentu saja diperlukan penyusunan regulasi yang era globalisasi, khususnya di era Masyarakat Ekonomi ASEAN MEA sekarang, reformasi sistem pendidikan kedokteran, khususnya pendidikan dokter spesialis, sebaiknya segera dilakukan jika kita ingin duduk sejajar dengan negara lain di ada perubahan yang signifikan, dokter spesialis asing dapat masuk ke Indonesia dengan alasan yang sangat masuk akal dokter spesialis yang ada jumlahnya masih kurang dan belum dapat melayani seluruh rakyat di negeri ini. Semoga tidak terjadi.Sukman Tulus Putra, Guru Besar Departemen IKA Fakultas Kedokteran UI, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia 2005-2008, dan Council Member of ASEAN Pediatric Federation - Bertepatan dengan hari jadi ke-16, Konsil Kedokteran Indonesia KKI melaksanakan Penandatanganan Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerja Sama PKS dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud dalam rangka Peningkatan Mutu Pendidikan Kedokteran di Indonesia. Dalam penandatangan kerjasama ini, Kemendikbud diwakili oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Ditjen Dikti, Prof. Konsil Kedokteran Indonesia KKI Putu Moda Arsana mengatakan, ruang lingkup nota kesepahaman ini meliputi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pendidikan kedokteran serta penyelenggaraan program adaptasi dokter dan dokter gigi. Baca juga Bisa untuk Diet, Ini Manfaat Kolang-kaling Menurut Pakar IPB KKI bekerjasama dengan Kemendikbud Selain itu juga, evaluasi implementasi standar kompetensi lulusan pendidikan profesi dokter dan dokter gigi, penyelenggaraan program adaptasi dokter dan dokter gigi, serta pertukaran data dan informasi. "Dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerja Sama diharapkan kerja sama antara KKI dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan semakin optimal dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan kedokteran. Akhirnya dapat membawa manfaat dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat Indonesia," ungkap Putu dalam keterangan tertulis yang diterima Kamis 29/4/2021.Menurut Putu Moda Arsana, Undang-undang Praktik Kedokteran mengamanatkan kepada KKI bertugas mengesahkan Standar Pendidikan Profesi Dokter dan Dokter Gigi. Baca juga JCO Donuts Buka Lowongan Kerja Lulusan SMA/SMK, D3, S1 KKI mendapat amanat sesuai UU Praktik Kedokteran Standar ini disusun oleh asosiasi institusi pendidikan kedokteran/kedokteran gigi atau kolegium kedokteran/kedokteran gigi. Berkoordinasi dengan organisasi profesi, asosiasi institusi pendidikan kedokteran/kedokteran gigi, asosiasi rumah sakit pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Kesehatan. Selain itu UU Praktik Kedokteran juga mengamanatkan dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri yang akan melaksanakan praktik kedokteran di Indonesia harus dilakukan evaluasi. Meliputi keabsahan ijazah dan kemampuan melakukan praktik kedokteran. Jakarta - DPR RI pada Kamis, 30 September 2021, mensahkan Rancangan Undang-undang RUU Pendidikan Kedokteran. RUU tersebut ditetapkan menjadi RUU Inisiatif DPR RI, setelah mendapatkan persetujuan sembilan fraksi yang ada di DPR. Pasal-pasal dalam RUU Pendidikan Kedokteran turut membahas seputar kekurangan dokter, biaya pendidikan yang tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat, serta adanya gap teknologi. Rencana Booster Masyakat Umum Tunggu Kajian ITAGI dan Capaian Vaksinasi 70 Persen Kenali 3 Cara Aman Bersihkan Telinga dan 4 Metode yang Harus Dihindari Mulai Oktober 2021, Bepergian Bisa Dilakukan Tanpa Perlu Unduh PeduliLindungi Ketua Bidang Advokasi Legislasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia PB IDI, Mariya Mubarika, menyampaikan, kajian terkait RUU Pendidikan Kedokteran adalah sebuah revolusi besar yang dapat mengubah beban menjadi aset. "Pengaturan ini RUU Pendidikan Kedokteran dapat memercepat produksi dokter yang berdaya saing. Dengan terpenuhinya produksi dokter Tanah Air, maka setelah itu kita bisa berfokus dalam perdagangan bebas, bagaimana Indonesia dapat mengekspor dokter dan dokter spesialis," kata Mariya melalui pernyataan tertulis kepada Health Kamis 30/9/2021. "Bukan lagi impor, tapi ekspor. Jadi, RUU ini bukan saja menyelesaikan masalah Pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan, tetapi untuk peningkatan ekonomi bangsa. RUU ini dapat membalik sebuah beban menjadi aset bangsa," Mariya Rumah Sakit Islam RSI Banjarnegara dokter Agus Ujianto punya kreasi unik untuk mengurangi risiko tertular Covid 19 saat memeriksa dokter tak perlu cemas saat memeriksa Dukung Keputusan DPR Soal RUU Pendidikan KedokteranIlustrasi dokter/dok. Unsplash National CancerMariya Mubarika menyebut beberapa pasal yang menjadi poin penting dalam RUU Pendidikan Kedokteran. Ada 69 pasal dalam RUU Pendidikan Kedokteran terkait percepatan, kesetaraan level kompetensi global, dan dukungan aplikasi teknologi. "Isi pasal yang termaktub pun bukan saja soal jumlah dokter di Indonesia akan meningkat dengan cepat, namun juga berdaya saing," ujar Mariya. Pada pasal 58-60 diamanatkan dukungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sedangkan untuk percepatan produksi dokter dan dokter spesialis diatur dalam Pasal 28 terkait Pendidikan Dokter Kedinasan oleh Pemerintah Pusat atau Kementerian Kesehatan. Selanjutnya, Pasal 60 dan 61 mengenai beasiswa pemerintah daerah, program khusus pada Pasal 29, dan sistem penerimaan afirmasi pada Pasal 19. Penjelasan level kompetensi dari pendidikan dokter dan dokter spesialis setara global, diatur dalam Pasal 21 dan 22. "Perubahan RUU UU ini sangat dibutuhkan oleh bangsa ini sebagai pemenuhan tugas negara, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa," katanya. "Tentunya, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial," Mariya menekankan. PB IDI mengapresiasi dan mendukung usulan Badan Legislasi DPR RI. IDI mendukung penuh RUU Pergantian Pendidikan 5 Saran Dokter untuk Penyintas Covid-19Infografis 5 Saran Dokter untuk Penyintas Covid-19. Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan. Ilustrasi dokter menutupi wajah. Foto Shutter StockBadan Legislatif DPR RI melakukan rapat kerja dengan pemerintah terkait Rancangan Undang-undang RUU Pendidikan Kedokteran yang telah ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR pada September 2021 lalu. Rapat ini dihadiri oleh Mendikbud Ristek Nadiem Makarim, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono, serta Menteri Kementerian Hukum dan HAM hingga Menteri Dalam Negeri yang diwakili Ketua Baleg Fraksi NasDem Willy Aditya berharap RUU Pendidikan Kedokteran dapat disambut baik oleh pemerintah. Ia menekankan, RUU Pendidikan Kedokteran diperlukan untuk menyelesaikan masalah pendidikan dokter yang terjadi seiring zaman."Penyusunan RUU Pendidikan Kedokteran terkait migrasi dunia ini lingkungan strategis pesat yang harus kita respons dalam pendidikan kedokteran. Dalam digital, dokter hanya jadi fasilitator. Selain itu, dokter kita masih sangat terbatas dan menumpuk di Jawa," kata Willy yang hadir langsung dalam rapat kerja di Gedung DPR Senayan, Senin 14/2."Ketiga, dokter butuh kapasitas tertentu dan spesifik untuk itu kita harus uji kompetensi, tapi bukan exit penting tapi di sisi lain mereka hadapi uji kompetensi di mana di masa koas mereka juga harus bimbingan. Sudah masuk susah, keluar susah," imbuh sejarah, Willy mengingatkan Indonesia lahir dari perjuangan para dokter. Sebab itu, ia menyesalkan dengan kebijakan pendidikan kedokteran saat ini, banyak dokter yang kesulitan membangun kehidupan sosial hingga politik di luar profesinya."Di sanalah krisis humanisme terjadi. Masuk mahal, feodalisme. Untuk itu dunia kedokteran perlu reformasi. Di luar negeri orang lomba-lomba buka RS pendidikan, di kita limited bahkan swasta sulit jadi RS pendidikan. Kami tidak ingin jadi negara yang terjebak komersialisasi," papar Ketua Baleg DPR Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya. Foto Dok. IstimewaKendati demikian, Dirjen Riset Dikti Kemendikbud Nizam menilai pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran belum perlu dilanjutkan. Ia menyampaikan, Kemendikbud melihat bahwa UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran dengan sejumlah peraturan turunannya sudah nyata dari pengaturan UU Tahun 2013 adalah jumlah lulusan dokter tahun telah meningkat 100% dari sekitar per tahun menjadi per tahun, prodi Kedokteran yang terakreditasi A naik 90%, sementara yang akreditasi C turun dari 50% menjadi 20%. Selain itu, Kemendikbud menilai untuk menjawab permasalahan kedokteran terkini, lebih cocok apabila dilakukan penyesuaian Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik menjawab kekhawatiran DPR, pemerintah dapat menerbitkan perubahan aturan teknis, untuk mempercepat atau mengatasi bottleneck dalam implementasi kebijakan transformasi layanan penyelesaian masalah jangka menengah, Kemendikbud menyarankan pengintegrasian UU tentang Pendidikan Kedokteran dan UU tentang Praktik Kedokteran UU Kedokteran. Integrasi ini dilakukan agar kebijakan peningkatan kualitas pendidikan kedokteran dapat selalu harmonis dengan kebijakan pelayanan kesehatan. Ia juga mengingatkan, saat ini pemerintah sedang menyiapkan RUU Sistem Pendidikan Nasional, sehingga penyelarasan perundangan bidang pendidikan sebaiknya menunggu terbitnya UU Sistem Pendidikan Nasional yang Dikti Kemendikbud Prof. Nizam. Foto UGM"Pemerintah berpendapat bahwa RUU tentang Pendidikan Kedokteran yang diusulkan oleh DPR belum perlu untuk dibahas lebih lanjut. Apabila akan dilakukan pengaturan baru, disarankan untuk menyatukan UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Dokter ke dalam satu undang-undang tentang kedokteran," kata Nizam yang turut hadir dalam Kemendikbud, Ketua Baleg DPR dari Fraksi Gerindra Supratman Andi Agtas, menilai pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran tetap perlu dilanjutkan. Ia memberikan waktu kepada pemerintah untuk berdiskusi kembali, menyerahkan Daftar Inventaris Masalah DIM atau menyatakan sikap lain dalam rapat kerja di Masa Sidang IV pada Maret mendatang, setelah reses."Baleg inisiasi RUU Pendidikan Kedokteran lewat kajian mendalam bahwa ada masalah-masalah yang perlu diselesaikan. RUU Pendidikan Kedokteran sudah bagus, tapi ada kelemahan tertentu yang harus segera kita selesaikan," kata Supratman selaku ketua rapat kerja."Kami tawarkan apa pembahasan ini kita lakukan di masa persidangan IV, 15 Maret? Jadi nanti akan kami sepakati di sana sambil kita beri pemerintah diskusi dalam penyusunan DIM atau sikap lain. Bisa kita sepakati ya?" tandasnya, dijawab persetujuan anggota Baleg dan pemerintah. Memasuki abad 20, telah terjadi peningkatan jumlah Fakultas Kedokteran yang cukup tajam. Pada awal tahun 2000, Indonesia memiliki 33 Fakultas Kedokteran. Tahun 2007, telah bertambah menjadi 45 Fakultas Kedokteran. Pada tahun 2009, naik secara signifikan hingga menjadi 71 Fakultas Kedokteran dan menjadi 72 Fakultas Kedokteran pada tahun 2010 yang terdiri atas 31 Fakultas Kedokteran Negeri dan 41 Fakultas Kedokteran Swasta yang tersebar di seluruh Indonesia. Pada pertengahan tahun 2016, jumlah Fakultas Kedokteran sudah mencapai 75. Jumlah ini masih terus bertambah dengan dibukanya ijin pendirian bagi 8 Fakultas Kedokteran baru pada tahun 2017, sehingga pada tahun 2018 ini, terdapat 83 Fakultas Kedokteran di Indonesia dengan 35 Fakultas Kedokteran Negeri dan 48 Fakultas Kedokteran Swasta. Pembukaan Fakultas Kedokteran baru di berbagai daerah didorong oleh adanya kebutuhan akan tenaga dokter dalam rangka pemerataan kesempatan belajar dan pemerataan distribusi dokter. Pada tahun 2000, jumlah lulusan dokter berkisar pada angka hingga setiap tahun, padahal kebutuhan akan tenaga dokter sebesar dokter, menurut perhitungan berdasarkan target rasio dokter per penduduk 40 per penduduk. Oleh karena itu, Pemerintah membuka peluang untuk pembukaan program studi dokter di berbagai daerah. NA RUU Pendidikan Kedokteran. Bagaimana pengaturannya?

ruu pendidikan kedokteran akan beri perhatian pada standarisasi kompetensi